Cerita Rakyat

Mithos

Bala TentaraWong Samar

KEARIFAN LOKAL BALI DALAM PENCEGAHAN PANDEMI

Oleh I Made Mardika

Pejengan Puri Klungkung

Sebelum pandemi covid-19 menyeruak menjadi wabah nasional, pada tanggal 24 Maret 2020 malam, Kulkul Pejenengan di Puri Agung Klungkung sayup-sayup berbunyi dengan sendirinya. Bunyi tersebut tak didengar oleh warga sekitar, namun justru terdengar oleh orang-orang pada radius yang jauh, bahkan hingga ke daerah Singaraja dan Mataram. Kulkul yang didengar membawa pula vibrasi keangkeran, sehingga mereka yang merasakannya menyadari dari mana asal bunyi kulkul itu dan pesan kewaspadaan yang disampaikan.

            Tak berselang lama, kemudian banyak orang yang datang dari berbagai daerah untuk menyampaikan berita tersebut dan berdoa di Puri Agung Klungkung, selain memohon petunjuk kepada Penglingsir Puri Klungkung, Ida Dalem Semaraputra. Mengingat perkembangan pesat pandemi Covid-19 di luar Bali, maka Ida Dalem Semaraputra beserta Bupati Klungkung dan aparat setempat memperingatkan masyarakat agar tenang dan tetap waspada.

Lebih lanjut berdasarkan pawisik, masyarakat diminta untuk memasang tanda pinget berupa daun pandan 3 lembar, cabai, bawang merah dan uang bolong 1 keping yang diikat dengan benang tridatu. Pinget tersebut dipasang di depan pintu gerbang yang disertai tanda silang tapak dara dari kapur. Hal ini berfungsi sebagai penolak bala dari marabahaya niskala atau alam gaib. Himbauan lainnya adalah agar masyarakat waspada, mengurangi kegiatan di luar rumah, menghindari kerumuman, dan mengikuti protokol kesehatan pandemi covid-19 lainnya sesuai anjuran pemerintah. Hal tersebut diterapkan untuk meminimalisir grubug atau wabah yang sedang dan akan terjadi.

            Bagaimana masyarakat Bali menyikapi peristiwa di atas? Tentunya tak lepas dari mitos yang tetap bertahan selama ini. Mitos yang menjadi keyakinan masyarakat lokal Bali terhadap Kulkul Pajenengan Puri Klungkung, juga sejarah yang melatarbelakangi setiap peristiwanya. Kulkul yang oleh sebagian masyarakat dipercaya memiliki kekuatan magis dapat berbunyi sendiri secara gaib hingga terdengar oleh beberapa orang sampai ke Jawa Tengah atau Lombok. Kulkul yang menjadi tanda akan datangnya bencana alam seperti saat erupsi gunung Agung, bencana oleh ulah manusia seperti bom Bali 1 dan 2, dan tentunya peringatan mengenai wabah penyakit atau gering agung seperti pandemi covid-19.

Mitos Bala Samar

Mitos pada umumnya sering dipahami sebagai cerita rakyat tentang legenda, dongeng atau kisah rekaan. Namun dari perspektif mitologi,  mitos adalah teks sosial yang penuh makna. Mitos merupakan wacana simbolik yang mengandung sistem pengetahuan, kepercayaan, bahkan kearifan lokal. Untuk sampai kepada pesan kebenaran, mitos perlu disingkap sehingga dapat dipetakan makna yang ada dibalik cerita. Oleh karena itu, menjadi penting menggali kisah-kisah lisan yang hidup di masyarakat guna mengungkap amanat yang tersembunyi. Artinya, menelisik mitos bukan semata-mata melihat jalinan kisah dengan latar kejadian pada tinggalan warisan budaya setempat. Lebih dari itu, kajian mitos berusaha mengupas berbagai rupa nilai-nilai kearifan lokal yang dapat direfleksikan. Apalagi mitos adalah bagian dari fenomena budaya masyarakat Indonesia. Tentu tersedia bahan kajian yang melimpah di berbagai tempat, baik mitos dari masa lalu maupun yang tetap hidup hingga saat ini.

Tak terkecuali pada masa Bali Klasik “Jaman Gelgel” abad XIV-XVI masehi, ternyata mewariskan mitos yang kaya dan beragam. Pencermatan terhadap mitos-mitos yang berkembang mengindikasikan adanya hubungan dengan situs arkeologi, mencerminkan kearifan lokal, kebijakan publik, dan sejarah kebudayaan Bali. Satu diantaranya adalah Mitos Bala Samar. Pasukan tak kasat mata “wong samar” yang ada di Gelgel bukan hanya dipercaya sebagai penjaga keraton Gelgel, akan tetapi, tercermin adanya kearifan lokal Bali dalam penanggulangan wabah penyakit atau yang sekarang ini dikenal dengan pandemi.  

Dikisahkan bahwa  di Bali berkuasa seorang raja termasyur bernama Dalem Waturenggong yang berkeraton di Swecapura Gelgel. Raja Dalem Watur Renggong merupakan Raja Besar yang menguasai seluruh wilayah Bali. Hanya satu kerajaan di Pulau Nusa Penida bernama Raja Dalem Dukut/Bungkut yang tidak mau tunduk dengan Gelgel. Itulah sebabnya, Raja Gelgel mengirim pasukan ke Nusa Penida dipimpin oleh Patih Peminggir untuk menaklukkkan Dalem Nusa.

Prajurit Gelgel berlabuh di Toya Pakeh, Nusa Penida. Pasukannya langsung bergerak melakukan penyerangan, namun gagal memenangkan perang. Pasukan Dalem Nusa ternyata sangat kuat karena dibantu oleh bala tentara wong samar atau Bala Samar. Begitu bergerak ke dalam, pasukan Gelgel ditebas oleh pasukan wong samar. Suara yang ditimbulkan oleh tebasan wong samar berbunyi “Ped”, sehingga lokasi itu sekarang dinamakan Desa Ped. Bagian tubuh dari prajurit Gelgel yang ditebas dikirim ke wilayah sebelah yang disebut Desa Kutampi. Karena saat itu, Bala Samar menyatakan “ini ambil mayatnya” (neh, tampi sempalane). Lokasi dikirimnya korban-korban tebasan wong samar kemudian disebut Desa Kutampi. Setelah itu, bagian tubuh pasukan gelgel diletakkan di wilyah sebelah Kutanpi berupa sempalan-sempalan mayat sehingga tempat tersebut dinamakan Desa Sampalan.

Selanjutnya, dikisahkan bahwa mayat-mayat dari prajurit Gelgel yang gugur demikian banyak dikirim kembali ke Gelgel ditempatkan di sekitar wilayah Peminggir. Mayat-mayat parajurit Gelgel yang demikian banyak dikubur dalam satu lubang yang membentuk tumpukan mayat. Karena itu, lokasi penguburan prajurit yang gugur kemudian disebut Sema Bugbugan (metagub; artinya bersusun-susun dalam satu lobang galian). Arya peminggir kemudian kembali ke Gelgel dan melaporkan kepada raja bahwa mereka gagal menguasai Nusa. Para prajurit yang gugur dianggap sebagai pahlawan yang kemudian didirikan tempat suci yakni Pura Dalem Prajurit di Banjar Minggir, Gelgel.

Raja Dalem Waturenggong kemudian mengutus Patih Jelantik Bogol sebagai pemimpin laskar Gelgel untuk menaklukan Dalem Nusa. Pada penyerangan kedua ini, Patih Jelantik Bogol tidak langsung menyerbu Nusa tetapi dengan melakukan perundingan. Dalam perundingan tersebut, kedua pemimpin mengadakan perjanjian perang tanding yang tidak melibatkan pasukan kedua belah pihak.

Perkelahian terjadi begitu sengit dan berlangsung lama, dari pagi hingga sore hari dan berlanjut lagi keesokan harinya. Setiap pertandingan dimulai dengan pukulan gong sehingga kemudian tempat pertempuran itu disebut Pura Batu Gong Nusa Penida. Pada hari ketiga, istri Patih Jelantik Bogol memberikan suaminya keris Ki Pencok Saang yang merupakan bagian dari taring Naga Basuki. Dengan senjata itulah akhirnya Raja Dalem Bungkut dapat dikalahkan. Sebelum Meninggal Dalem Bungkut mengadakan berjanji dengan Raja Gelgel dihadapan Patih Jelantik. Dua janji penting yang disampaikan yaitu: (1) Raja Dalem Bungkut mengaku kalah dan menyerahkan Nusa, beserta rakyatnya termasuk Bala Samar (pasukan tak kasat mata) kepada Raja Gelgel; (2) Bale Samar akan  menjaga Bali, dan juga bertugas menghukum orang-orang yang tidak taat dalam menjalankan dharma/upacara agama dengan menyebarkan gering/grubug. Kedua janji tersebut disetujui oleh Raja Dalem Waturenggong. Sejak saat itulah, Bala Samar dari Dalem Nusa berada di Gelgel dan menjadi salah satu kekuatan pasukan wong samar kerajaan Gelgel.

Bala Samar di Gelgel dipercaya memiliki kehidupan yang hampir sama seperti manusia. Meraka menjaga tempat-tempat suci yang ada di Desa Gelgel. Pasukan wong samar tersebut senantiasa menjaga wilyah Gelgel secara berkala atau bergilir, seperti di empat sisi Pura Dasar Buana Gelgel. Wong samar diyakini memiliki Pura Dalem (yang diidentifikasi dengan Pura Dalem Kerti), Pura Prajepati yakni di sebelah barat Pura Dalem Kerti, oleh masyarakat disebut Pura Prajepati Tan Hana. Pada pura ini dipercaya sebagai tempat Bala Samar berkumpul untuk pembagian tugas dalam menjaga beberapa wilayah yang ada di kerajaan Gelgel. Demikian pula Bala Samar mempunyai tempat pemuun (lokasi pembakaran mayat) berupa gundukan tanah (bukit kecil) dan setra (kuburan) yang terletak Uma Gunung.    

Agar wong samar tetap setia menjaga wilayah Gelgel dan tidak menyebarkan gering/gerubug, maka setiap satu tahun sekali dilaksanakan upacara “Moga Kala” (persembahan “boga” kepada butha kala) di Jaba tengah Pura Dasar Buana Gelgel pada hari purwani Purnama Kapat. Upacara persembahan ini dilaksanakan satu hari sebelum upacara puncak Ngusaba di Pura Dasar Buana Gelgel. Sarana upacakara Moga Kala terdiri atas: banten pecaruan lengkap dengan seekor babi mentah yang sudah dibersihkan, bumbu selengkapnya, kayu bakar dan perlengkapan untuk memasak.

Sesuai dengan janji dan kesepakatan kedua belah pihak, Bala Samar akan menghukum orang-orang yang tidak taat menjalankan agama. Tiap-tiap memasuki sasih ke lima hingga ke enam Bale Samar akan menagih janji untuk menyebarkan gering yang sering kali dipercaya dalam rangka Bala Samar mencari pengikut untuk dijadikan tentara wong samar. Pada musim itu dipercaya para wong samar menyebarkan wabah dalam upaya mendapatkan tumbal/pengikut. Orang-orang tua di Desa Gelgel memberikan nasehat kepada anak-anak khususnya dan masyarakat umumnya agar tidak bepergian atau berada di jalanan pada siang hari (tengah tepet) dan sore hari (sandi kala).

Kisah mitos wong samar tidak berhenti pada saat kerajaan Gelgel musnah. Ceritera mitos Bala Samar tetap berlanjut setelah pusat kerajaan Gelgel dihancurkan oleh pemberontakan Sagung Maruti dan berpindah ke Semarapura Klungkung. Keraton Semarapura dipandang sebagai kelanjutan dari Masa Gelgel. Tentu perjanjian atau sumpah antara Raja Dalem Nusa dengan Dalem Gelgel tetap berlaku. Oleh sebab itu, Raja mempunyai strategi dalam mengantisipasi upaya wong samar menyebarkan grubug dengan cara memberikan tanda peringatan secara dini akan adanya gering maupun bencana yang akan terjadi yakni dengan bersuaranya secara gaib kentongan suci (pejenengan) yang ada di Pura Dasar Buana. Jika kentongan berbunyi sendiri, itu pertanda akan adanya bencana maupun gering. Bunyi kentongan di Puri Agung Semarapura Klungkung sebagai kelanjutan kerajaan Gelgel juga dipercaya sebagai pertanda yang sama.

Menurut Ida Dalem Semaraputra, bahwa kentongan di Puri Semarapura Klungkung akan berbunyi dengan sendirinya sebagai tanda akan adanya bahaya (bencana maupun wabah). Biasanya bunyi kentongan gaib ini didengar dalam radius yang sangat jauh, sementara orang di lingkungan dekat puri tidak mendengar.  Setelah kulkul Pejenengan Puri Klungkung berbunyi, maka masyarakat datang ke puri untuk menyampaikan tentang suara kentongan yang didengarnya. Selanjutnya, masyarakat secara sukarela melakukan persembahan untuk memperoleh keselamatan dan terhindar dari bencana wabah. Masyarakat yang menghaturkan sesajen akan diberikan anugerah benang tridhatu untuk dijadikan gelang. Hal ini sebagai simbol orang tersebut telah taat melaksanakan upacara, dan merupakan rakyat/warga dari kerajaan. Konon ada perjanjian bahwa wong samar boleh mengambil orang-orang untuk dijadikan pengikut, kecuali yang menggunakan benang tridhatu sebagai tanda orang tersebut adalah abdi raja yang taat menjalankan agama.

Kearifan lokal Mitos Bala Samar

Jika diperhatikan rangkaian kisah cerita mitos Bala Samar di Gelgel terdapat tiga hal menarik yang dapat diungkapkan. Pertama, Mitos Bala Samar memiliki kaitan erat dengan warisan budaya baik bersifat tangible dan  intangible. Warisan budaya kebendaan yang ditunjukkan adalah menyangkut toponim nama tempat di Nusa Penida seperti asal-usul nama Desa Ped, Kutampi dan Sampalan. Mitos Bala Samar juga terkait erat dengan situs-situs warisan budaya yang ada di Desa Gelgel maupun Kota Semarapura Klungkung seperti Sema Bugbugan, Pura Dalem Prajurit, Pura Dalem Kerti, Pura Prajepati Tan Hana, Pura Dasar Buana, situs Uma Gunung dan Pura Pejenengan Puri Semarapura. Warisan budaya tak benda meliputi tradisi upacara Moga Kala, penggunaan benang tridhatu, dan pinget sebagai wujud pencegahan pandemi (gering agung).

Kedua, Mitos Bala Samar mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal di bidang sumber dan cara pencegahan wabah.  Sumber wabah / pandemi yang terjadi di masyarakat dipercaya berasal dari wong samar. Bala Samar mempunyai tugas menghukum masyarakat yang tidak taat melaksanakan upacara agama. Dalam tugasnya menghukum orang-orang yang lalai beragama inilah Bala Samar menyebarkan wabah penyakit. Ceritera Bala Samar mencari pengikut dengan cara menyebarkan penyakit sangat diyakini oleh masyarakat lokal sehingga jika terjadi wabah dipercaya sebagai ulah yang disebarkan oleh bhuta kala atau wong samar. Kepercayaan terhadap mitos Bala Samar sebagai sumber wabah juga berhubungan dengan cara pencegahan gering. Pencegahannya dilakukan secara sekala (fisikal) dan niskala (gaib). Secara fisikal melalui larangan bepergian keluar rumah pada waktu tertentu seperti tengah hari dan senja. Keyakinan ini memberikan indikasi adanya upaya pembatasan keluar rumah oleh anggota masyarakat dalam rangka menanggulangi bencana termasuk wabah penyakit yang kemungkinan disebarkan oleh Bala Samar. Secara nikala dilakukan dengan upacara persembahan Moga Kala, penggunaan pinget dan benang tridatu.  Pelaksanaan upacara moga kala, pemasangan pinget dan penggunaan gelang benang tridatu dapat dipandang sebagai bentuk tolak bala dengan pendekatan religious magis.

Ketiga, hal-hal magis yang berbau niskala tentunya sulit untuk dicari pembuktiannya. Dalam hal ini mengenai bunyi Kulkul Pejenengan Puri Klungkung, gelang benang tridatu dan pinget yang dipasang di gerbang pintu masuk rumah sebagai tanda perlindungan lebih mengindikasikan unsur sosio-religius magis. Akan tetapi, dari segi peringatan dini maupun kewaspadaan terhadap bencana dan wabah hal itu sangatlah efektif menjadi sugesti yang baik demi  perlindungan badan. Tentunya kita tidak boleh abai dengan himbauan pemerintah untuk senantiasa melaksanakan protokol kesehatan. Bukankah peningkatan produksi imunitas sangat ditentukan oleh keyakinan diri sebagai salah satu upaya penangkal pandemi. Sebagai suatu nilai kearifan lokal yang diwariskan leluhur selayaknya hal ini menjadi suatu bahan renungan. Patut dicatat bahwa sebaran dan aneka ragam mitos masih menjadi misteri yang harus disibak, dikupas sari patinya agar terkuak peta-peta makna yang membungkusnya. Mari kita berselancar  menggali mitos yang banyak berserakan di depan mata untuk menemukan pesan-pesan kebijaksanan!!!!

References

[1] A. A. B. Wirawan. Pura Dasar Sweca Linggarsa Pura: Kahyangan Jagat Kraton Ibukota Kerajaan Bali Pusat Agama Hindu di Nusantara Sejak Abad XIV. Pura Dasar Gelgel Kabupaten Klungkung, 2008.

[2]  J. C. Scott. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989.

[3] I. M. Mardika. A. A. A Dewi Larantika. A. A. G Oka Wisnumurti.“Praktik Budaya Masyarakat Bali dalam Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19 berbasis Kearifan Lokal”. Laporan Penelitian. Denpasar: Prodi MAP Pascasarjana Unwar, 2020.

[4] Fox, David J. Stuart. Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan, Udyana University Press. Jakarta: KITLV. 2010.

[5] Nawawi dan Hadari. Metode Penelitian Survey dan Pelaporan Penelitian. Yogyakarta: Mata Pena. 1992.